Di tengah krisis ekonomi yang semakin dalam dan kelangkaan dolar AS di Bolivia, masyarakat secara mandiri mulai mengadopsi USDT (Tether) sebagai satuan harga (unit of account) dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini mencerminkan adopsi teknologi blockchain yang bersifat bottom-up, bukan dipaksakan oleh pemerintah, melainkan tumbuh dari kebutuhan nyata masyarakat.
Tren ini pertama kali mencuri perhatian ketika CEO Tether, Paolo Ardoino, mengunggah foto-foto dari pasar lokal di Bolivia, yang menunjukkan berbagai produk konsumen seperti Oreo, Cadbury, dan barang elektronik ditandai dengan label harga dalam USDT, bukan mata uang lokal boliviano. Meskipun pemerintah Bolivia masih secara resmi melarang penggunaan mata uang digital sebagai alat pembayaran, praktik di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat bergerak lebih cepat daripada regulator.
Menurut laporan dari analis keuangan lokal dan platform AInvest, lebih dari 50% pedagang informal di kawasan urban Bolivia mulai mencantumkan harga dalam USDT. Hal ini terutama didorong oleh tiga faktor utama: devaluasi mata uang lokal, kelangkaan dolar fisik, dan minimnya akses terhadap layanan keuangan formal. Di tengah krisis ekonomi, banyak masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap boliviano dan mencari alternatif yang stabil.
Yang menarik, penggunaan USDT bukan hanya terbatas di pasar tradisional, tetapi juga mulai digunakan untuk transaksi antarwilayah dan bahkan lintas negara oleh para pelaku bisnis kecil dan menengah. Beberapa perusahaan menggunakan stablecoin ini untuk menghindari kerumitan sistem perbankan lokal yang mahal dan lamban. Transaksi berbasis stablecoin memungkinkan mereka menerima pembayaran lebih cepat, menghemat biaya konversi mata uang, dan menjaga kestabilan nilai dalam pembukuan mereka.
Namun demikian, lonjakan penggunaan USDT di Bolivia menimbulkan pertanyaan besar di bidang regulasi. Negara ini sebelumnya melarang penggunaan mata uang digital dalam transaksi resmi. Tetapi karena masyarakat tetap menggunakannya secara luas, regulator kini berada dalam posisi sulit: apakah akan mempertahankan larangan dan berisiko kehilangan kendali, atau meregulasi dan mengintegrasikan stablecoin secara resmi ke dalam sistem moneter?
Bank Sentral Bolivia kabarnya sedang mempertimbangkan untuk membuka mekanisme konversi boliviano ke stablecoin, namun belum ada kejelasan kapan dan bagaimana regulasi tersebut akan disusun. Jika langkah ini ditempuh, Bolivia bisa menjadi salah satu negara pertama di kawasan Amerika Latin yang mengakui peran stablecoin sebagai bagian dari sistem keuangan nasional—terutama dalam skema desentralisasi yang dimotori oleh rakyat.
Penggunaan USDT sebagai satuan harga di Bolivia merupakan contoh nyata bagaimana teknologi kripto dapat menjawab kebutuhan ekonomi di tengah krisis. Meskipun belum diakui secara resmi, adopsi USDT yang bersifat bottom-up mencerminkan keinginan masyarakat untuk stabilitas, efisiensi, dan inklusi finansial yang belum mampu disediakan oleh sistem keuangan tradisional.
Jika tren ini berlanjut, Bolivia bisa menjadi contoh global bagaimana stablecoin dapat berfungsi sebagai “mata uang bayangan” yang efektif — bahkan tanpa restu pemerintah — selama ada kepercayaan dari masyarakat.